Maraknya kasus-kasus kriminal di bangsa ini,
menggambarkan penurunan kualitas moral dari generasi bangsa ini.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut.PendelikonNational yang bertujuan untuk mengembangkan potensi para pelajar agar
menjadi manusia yang cerdas,creative, ceriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, seharusnya mampu
mengatasi masalah penurunan kualitas moral bangsa ini. Namun kenyataannya,
pendidikan di negeri ini belum sepenuhnya mampu mencetak generasi bangsa yang
cerdas, klreatif, bermoral dan bermartabat. Diperlukan sebuah inovasi dalam
proses pembelajaran untuk membentuk karakter para pelajar yang
positif.
Hasil
analisis dalam karya tulis ini adalah bahwa penurunan kualitas moral dari
generasi bangsa ini adalah disebabkan karena lemahnya mental dari generasi
bangsa yang terbentuk sejak dini, sehingga membentuk karakter yang kurang baik.
Karakter tersebut akan menjadi watak perilku seseorang dalam menjalani
kehidupan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka perlu diupayakan pembentukan
karakter sejak dini, salah satu caranya adalah dengan menerapkan pendidikan
karakter pada proses pembelajaran. Dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam
setiap proses pendidikan, akan membantu proses pembentukan karakter dari
peserta didik yang bermoral dan bermartabat. Dengan terbentuknya karakter
tersebut, maka karakter tersebut akan sulit hilang sehingga akan menjadi watak
perilaku seseorang dalam menjalani masa yang akan datang.
Medan,
5 Desember 2012
MHD.
ABDULLAH HAMID
BAB.1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian.
Istilah
Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mossedangkan
bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu
kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara
etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut
sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti
kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa
asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin.
Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak
bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan
norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa
pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai
dan norma-norma yang tidak baik.
Prinsip
moral atau moral (dari bahasa Latin: moralitas) membawa pengertian ajaranatau
pegangan berkenaan dengan buruk baik sesuatu perbuatan (kelakuan, kewajipan,
dll),sikap atau cara berkelakuan yang berasaskan atau yang diukur dari segi
baik buruk sesuatuakhlak. Ia merujuk kepada konsep etika kemanusiaan yang digunakan
dalam tiga konteks, yaitu:
1.hati nurani
individu;
2. sistem-sistem prinsip dan pertimbangan —
kekadang dipanggil nilai moral — yang dikongsi dalam sesuatu komuniti kebudayaan,
keagamaan, kesekularan ataukefalsafahan; dan
3.
tatalaku atau prinsip moral tingkah laku.
Moral
peribadi mentakrifkan dan membezakan niat, motivasi, atau tindakan yang betul
dan yang salah, sebagaimana yang dibelajar, dilahirkan, atau dikembangkan di
dalam setiap orang perseorangan.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin
moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada
lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi
moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah
sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan
buruk.
.
Belajar merupakan suatu proses psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif subyek dengan lingkungan dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai sikap yang bersifat konstan dan menetap yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, timbulnya pengertian-pengertian baru, perubahan dalam sikap dan perkembangan, sifat-sifat sosial, emosional dan pertumbuhan jasmani Winkel (1983) dan Hamalik (2001).
Sejalan dengan itu, Slameto (2003), mengartikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu sendiri, dalam interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil beberapa pengertian belajar yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa belajar pada dasarnya adalah suatu proses kegiatan atau usaha seseorang yang dilakukan secara sadar yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku yang saling relatif permanen .
Belajar merupakan suatu proses psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif subyek dengan lingkungan dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai sikap yang bersifat konstan dan menetap yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, timbulnya pengertian-pengertian baru, perubahan dalam sikap dan perkembangan, sifat-sifat sosial, emosional dan pertumbuhan jasmani Winkel (1983) dan Hamalik (2001).
Sejalan dengan itu, Slameto (2003), mengartikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu sendiri, dalam interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil beberapa pengertian belajar yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa belajar pada dasarnya adalah suatu proses kegiatan atau usaha seseorang yang dilakukan secara sadar yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku yang saling relatif permanen .
1.2 Tujuan Pendidikan.
Undang-Undang No. 2 Thn 1989 bab II pasal 4 menyatakan bahwa Pendidikan National bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang ceriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan bangsa.
Djahiri (2002) dan Mulyana (1998) serta (Sumatmadja, 2002) dalam Sauri (2010) menyatakan bahwa tujuan pendidikan umum adalah untuk membentuk peserta didik menjadi manusia seutuhnya, yaitu manusia yang bermoral tinggi; bersikap dan berperilaku baik; serta memiliki kemampuan kognitif dan keterampilan yang tinggi. Pada proses pendidikan umum, moral itu wajib tercermin pada suasana pembelajaran interaksi edukatif pengembangan materi pembelajaran, penerapan metode dan strategi sampai dengan evaluasi yang diterapkan. Moral itu menjadi jiwa, suasana, interaksi edukatif dan tujuannya. Pendidikan umum berupaya secara bermakna dan berkesinambungan menghasilkan SDM yang bermoral bagi semua konteks kehidupan dalam suasana dan kondisi apapun.
1.3 Deskripsi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan (Lubis, 2010).
Senada dengan hal tersebut, La Edi (2010) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi konsumen pengetahuan, kesadaran dan kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun kebangsa sehingga menjadi manusia insan kamil. Megawangi (2007) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
1.4 Manfaat Pendidikan Karakter
Suyanto (2010) menyatakan bahwa dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Lickona dalam Joseph (2010) mengatakan bila pendidikan karakter di sekolah dapat berjalan sebagaimana mestinya, setiap peserta didik bukan hanya berkembang dalam hal perilaku moral atau karakternya saja tetapi berdampak juga pada perkembangan akademisnya. Pernyataan ini didasari pada dua alasan. Pertama, jika program pendidikan karakter di sekolah mengembangkan kualitas hubungan antara guru dan anak didik, serta hubungan antara anak didik dengan orang lain, maka secara tidak langsung akan tercipta lingkungan yang baik untuk mengajar dan belajar. Kedua, pendidikan karakter juga mengajarkan kepada siswa tentang kemampuan dan kebiasaan bekerja keras serta selalu berupaya untuk melakukan yang terbaik dalam proses belajar mereka.
1.5 Data Penelitian
Materi sarasehan nasional tgl 14 Januari 2010 menginformasikan beberapa sekolah di Indonesia yang sudah mengembangkan pendidikan karakter dan hasilnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa (Balitbang Diknas, 2010). Selain itu, anggota Balitbang Sosiati (2010) mengatakan mulai tahun 2010, terdapat 10 sekolah di semua jenjang pendidikan di Nusa Tenggara Barat, yang dijadikan percontohan untuk menerapkan, membina dan mengembangkan pendidikan karakter.
Mr. Doug Monk dari Kingwood Middle School di Humble, Texas, dalam penelitiannya membandingkan evaluasi para guru terhadap murid sebelum dan sesudah diimplementasikannya kurikulum Lessons in character. Kurikulum ini berisi lebih banyak ajakan kepada para murid untuk berinteraksi dalam kegiatan-kegiatan sosial dan mengembangkan kepekaan mereka, hal tesebut telah memberikan dampak positif dalam perubahan cara belajar, kepedulian dan rasa hormat terhadap para staff sekolah, dan meningkatnya keterlibatan para murid secara sukarela dalam proyek-proyek kemanusiaan (Brooks, 2005).
Di negara Cina, dalam program reformasi pendidikan yang diinginkan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1985, secara eksplisit diungkapkan tentang pentingnya pendidikan karakter: Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more constructive members of society (Li, 2005). Karena itu program pendidikan karakter telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankan sejak jenjang pra-sekolah sampai universitas.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat yang dilakukan oleh Akbar (2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan (Kemendiknas, 2010).
BAB II.
PEMBAHASAN.
Akhir-akhir ini, kita melihat berbagai kasus yang mencerminkan penurunankualitas moral rakyat Indonesia. Mulai dari maraknya kasus tawuran remaja, kasus narkoba dan minuman keras, kasus hamil di luar nikah dan praktik aborsi, kasus video porno, sampai kasus korupsi dan suap yang menjerat para pejabat Negara. Dari tahun 2000hingga oktober 2012 tercatat lebih dari 200 kasus dengan 26 pelajar tewas, 56 luka berat, dan 109 luka ringan (Bimmas Polri Metro Jaya). Berdasarkan data hingga September 2009 ini kasus narkoba di Indonesia mencapai 12.256 kasus yang terdiri atas narkotika 6.179 kasus, psikotropika 5.143 kasus dan bahan adiktiv lainnya 934 kasus. Sementara untuk HIV/AIDS hingga 30 September 2005 tercatat 8.250 kasus, terdiri atas AIDS sebanyak 4.186 kasus dan infeksi HIV 4.064 kasus, sedangkan akibat jarum suntik 1.074 kasus. Kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) pada remaja menunjukkan kecenderungan meningkat antara 150.000 hingga 200.000 kasus setiap tahun. Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tanggal 4 Agustus 2010, merilis bahwa mereka mendapati 176 kasus korupsi yang ditangani aparat hukum di level pusat maupun daerah. Nilai kerugian negara dalam kasus-kasus itu ditaksir mencapai Rp2,102 triliun (Anonim, 2005). Semua ini menunjukkan bahwa kondisi moral bangsa ini terutama generasi muda sudah mulai mengalami penurunan moral sehingga perlu mendapatperhatian. .
2.1 Kasus
Korupsi sebagai wujud terjadinya krisis moral.
Adanya krisis identitas bangsa yang terjadi selama
beberapa dekade menyebabkan mentalitas bangsa menjadi tergerus dan menurunnya
kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Ketika krisis kepercayaan itu terjadi, pada masa kini masyarakat hanya
menjadikan Pancasila sebagai “buah bibir” saja tanpa bisa menghayati dan
mengamalkannya secara utuh. Munculnya paham fundamentalis dan kapitalis sebagai
kenyataan akan hal tersebut. Sebagai contoh adalah kasus korupsi
ditengah-tengah masyarakat. Kecenderungan tindak korupsi tersebut hanya memihak
dan menguntungkan satu pihak saja, sedangkan masyarakat sebagai korban dari
korupsi tersebut.
Adanya tindak pidana korupsi disebabkan karena
lemahnya moral individu, di samping itu, lemahnya penegakan hukum dalam
menindaklanjuti tindak pidana korupsi yang semakin merajalela. Perspektif ke
depan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan UUD
1945 yang memiliki dasar negara Pancasila, sehingga diperlukan kajian tentang
konsepsi sistem hukum di Indonesia. Hal ini dengan tegas dinyatakan pada
Pembukaan UUD 1945 alenia IV dan pada Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan
bahwa Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, kedudukan Pancasila sebagai
norma hukum tertinggi yang dalam tata hukum global disebut ground norm atau staat fundamental norm mengingat sesuai kenyataan
sejarah (legal history) selama 60 tahun tidak goyah sebagai ideologi dan dasar
negara hukum di Indonesia.
Berdasarkan
tesis Hans Kelsen, kedudukan Pancasila dalam UUD 1945 berada pada tingkat
tertinggi (Ilham Bisri: 2005). Hal ini berarti bahwa Pancasila harus diletakkan
sebagai kaidah dasar yang mempunyai arti sebagai sumber dari segala sumber
hukum serta menjadi dasar bagi berlakunya UUD 1945. Penyimpangan dan
implementasi dari sistem hukum yang berlapis seperti dijelaskan pada gambar di
atas adalah ketidakkonsistenan dalam interaksi dan penerapan dari pasal tersebut
yang dapat menjadi akar masalah korupsi di Indonesia.
Perbuatan
korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan internasional karena telah
ditetapkan melalui Konvensi Internasional (Atmasasmita, 2004: 40). Praktik
penegakan hukum dan peradilan yang timpang dengan rasa keadilan masyarakat
sebagai wujud terkikisnya nilai Pancasila yang berperan sebagai modal sosial
bangsa, contoh vonis bebas korupsi atau SP3 (Surat Perintah Pemberhentian
Penyidikan) lebih banyak di tingkat penyidikan dibandingkan kasus-kasus
pencurian ayam bahkan sering kali korban penganiayaan yang dihakimi oleh masa.
Kondisi seperti ini sangat bertentangan sengan rasa keadilan sebagai salah satu
nilai ideologi yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
dan peran Pancasila sebagai modal sosial.
Dalam kurun waktu 5 tahun (2004-2008) Dirtipikor dan
WCC, Bareskrim Polri mampu menangani kasus tindak pidana korupsi sebanyak 1.824
kasus, dan mampu diselesaikan sekitar 39,6% dan menyebabkan kerugian negara
sebesar Rp 9.986.129.025.963,66. Penyebab tindak korupsi tersebut jika di lihat
dari aspek sosial politik sangat berkaitan dengan masalah kekuasaan yang
diperoleh dengan aktivitas kegiatan dalam kepentingan politik. Ini menunjukkan
adanya nilai ideologi Pancasila sudah tidak dihiraukan lagi dalam menjalankan
roda pemerintahan. Sebagai modal sosial, tentunya Pancasila memberikan nilai
tersendiri, artinya Pancasila mempunyai nilai dan peran implementasinya dalam
penyelenggaraan negara. Ketika kepercayaan (trust) masyarakat mulai meredam
terhadap nilai dan makna Pancasila, maka disitulah titik awal dari munculnya
krisis identitas yang men
2.2 Dasar Agama yang Lemah pada pengamalan Nilai
Ideologi Pancasila
Agama
merupakan pondasi hidup setiap manusia, tanpa adanya agama manusia tidak bisa
berpikir secara naluri dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Indonesia merupakan negara yang meyakini keberadaan agama sebagai hal
tersebut, ada 6 keyakinan yang terdapat di Indonesia dan masing-masing keyakinan
mempunyai dasar ataupun pedoman sesuai dengan keyakinannya. Pancasila khususnya
Sila ke-1 menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sudah jelas dan tidak
diragukan lagi, setiap manusia pasti mempunyai Tuhan dan percaya bahwa Tuhan
itu ada. Keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat yang berbeda kepercayaan
merupakan wujud nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam bentuk
keharmonisan, kebersamaan, ketentraman, dan sebagainya. Perbedaan keyakinan
yang terdapat di dalam masyarakat itu merupakan multikulturalisme bangsa
Indonesia. Namun, tidak jarang hal tersebut justru mendorong berbagai
keributan/kerusuhan. Substansi kerusuhan tersebut sangat sempit dan kecil, tapi
bisa juga menjadi kerusuhan berskala besar dan sulit untuk menemukan jalan
tengahnya, dan bahkan bisa membawa nama masing-masing kelompok tersebut dalam
ranah konflik yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan).
Krisis agama yang bersifat kerusuhan tersebut tidak
hanya terdapat pada masyarakat yang berbeda keyakinan, bahkan tak jarang dari
mereka yang mempunyaikeyakinan dan tujuan yang sama justru malah mengalami
konflik internal. Hal tersebut dikarenakan rendahnya jiwa nasionalisme bangsa,
yaitu jiwa yang mengikat kita pada satu rasa dan satu tujuan. Modal sosial
terbentuk karena trust (kepercayaan) masyarakat terhadap apa yang mereka dengar
dan lihat. Pancasila berperan penting dalam segala hal, begitu pula dalam
keagamaan. Fundamentalisme seperti yang telah dikemukakan oleh Karen Armstrong,
merupakan salah satu fenomena yang sangat mengejutkan pada abad ke20. Begitu
mengerikan ekspresi dari fundamentalisme ini, peristiwa paling menghebohkan
dunia yang terjadi pada Semtember 2001 silam yaitu penghancuran gedung World
Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, kejadian tersebut dihubungkan
dengan fundamentalisme. Sementara di Indonesia terjadi peristiwa bom bunuh diri
di berbagai tempat seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kedutaan Besar
Australia di Jakarta, dan lain sebagainya. Motif dari peristiwa itu tidak jauh
dari fundamentalisme agama yaitu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan
dengan dilandasi fanatisme agama yang berlebihan.
Fenomena
yang disebut sebagai fundamentalisme agama tersebut memang tidak dapat
dilepaskan dari situasi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat kita. Kegagalan
pemerintah mengatasi kemiskinan dan masalah-masalah ekonomi selalu membuat
masyarakat tergoda untuk melakukan kekerasan dalam menyalurkan aspirasinya. Di
samping itu, ketidaktegasan aparat juga turut memberi andil bagi kelangsungan hidup
organisasi yang identik dengan kekerasan dalam mengemukakan pendapatnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa selama tidak ada perubahan dari kondisi sosial,
politik, dan ekonomi masyarakat dan selama aparat tidak tegas dalam menindak
kejadian-kejadian seperti itu, hal-hal itu tetap akan terus berlangsung.
Sistem Pendidikan yang berlaku di Indonesia memilki tujuan yang mulia yakni tercermin dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, diharapkan mampu meningkatkan kualitas moral bangsa Indonesia. Sehingga dapat difahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk moralhidup dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermoral dan bermartabat.
Namun pada kenyataannya tujuan yang diharapkan dan diinginkan oleh Undang-Undang tersebut belum sepenuhnya terwujud. Hal ini ditandai dengan banyaknya manusia yang cerdas namun tidak disertai dengan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tidak berakhlak mulia, tidak jujur dan tidak bertanggungjawab, sehingga dengan kepintarannya tersebut ia gunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Kondisi bangsa Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, sehingga membawa bangsa ini semakin terpuruk dalam kemiskinan dan krisis moral yang berkepanjangan.
Kondisi pendidikan di Indonesia sekarang ini jauh dari yang diharapkan. Proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter positif. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji. Pendidikan yang tujuan awalnya mencetak manusia yang cerdas dan kreatif, ternyata masih memiliki kelemahan pada aspek perkembangan karakter bangsa yang berkualitas yang akan menghasilkan manusia yang serdas, kreatif dan bertaqwa. Hal ini terlihat dari banyaknya pelajar yang terlibat tawuran, kasus kriminal, narkoba, dan seks di luar nikah. Sehingga ketika mereka menjadi pejabat pemerintahan, tidak sedikit yang sering melakukan pelanggaran-pelanggaran, diantaranya kasus suap dan korupsi.
Hal ini menjadi bukti bahwa dalam Undang-Undang
No. 2 Thn 1989 bab II pasal 4 tentang tujuan pendidikan di Indonesia belum
terwujud, yang disebabkan karena pendidikan moral yang selama ini diajarkan di
sekolah seperti Agama & PPKn biasanya hanya menyentuh aspek pengetahuan
saja dan belum sampai pada aspek prilaku. Apalagi proses pembelajaran yang
dilakukan oleh para pelajar banyakmenitikberatkan pada segi hafalan saja
sehingga tidak bisa mengubah prilaku seseorang menjadi baik. Singkatnya,
penurunan kualitas moral generasi bangsa ini, disebabkan oleh kurangnya
perhatian dalam usaha etika dan moral dalam pelaksanaan pendidikan di negeri
ini. Tidak ada pembentukan program pendidikan karakter sejak dini, sehingga
karakter yang terbentuk dari sebagian pelajar Indonesia bukanlah karakter yang
mencerminkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Berdasarkan fenomena di atas, diperlukan sebuah solusi dalam dunia pendidikan untuk menerapkan pendidikan karakter guna membentuk karakter positif para pelajar, sehingga menghasilkan manusia yang cerdas, kreatif, serta bermoral dan bermartabat dalam rangka membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan fenomena di atas, diperlukan sebuah solusi dalam dunia pendidikan untuk menerapkan pendidikan karakter guna membentuk karakter positif para pelajar, sehingga menghasilkan manusia yang cerdas, kreatif, serta bermoral dan bermartabat dalam rangka membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.3 Dampak modernisasi dan
globalisasi terhadap etika, dan moral pelajar
Modernisasi merupakan suatu
proses transformasi dari suatu perubahan ke arah yang lebih maju atau meningkat
di berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan, globalisasi yang
berasal dari kata global atau globe artinya bola dunia atau mendunia. Jadi,
globalisasi berarti suatu proses masuk ke lingkungan dunia.
Modernisasi dan globalisasi dapat memperngaruhi sikap masyarakat dalam
bentuk positif maupun negatif. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Sikap Positif
1) Penerimaan secara terbuka (open minded); lebih dinamis, tidak terbelenggu
hal-hal lama yang bersikap kolot
2) Mengembangkan sikap antisipatif dan selektif kepekaan dalam
menilai hal-hal yang akan atau sedang terjadi.
Sikap Negatif
1) Menjadi tertutup.
2) Masyarakat yang telah merasa nyaman dengan kondisi kehidupan masyarakat yang
ada.
3) Acuh tah acuh.
4) Masyarakat awam yang kurang memahami arti strategis modernisasi dan
globalisasi.
5)Kurang selektif dalam menyikapi perubahan modernisasi.
6) Dengan menerima setiap bentuk hal-hal baru tanpa adanya seleksi.
Modernisasi dan globalisasi
dapat masuk ke kehidupan masyarakat melalui berbagai media, terutama media
elektronik seperti internet. Karena dengan fasilitas ini semua orang
dapat dengan bebas mengakses informasi dari berbagai belahan dunia. Pengetahuan
dan kesadaran seseorang sangat menentukan sikapnya untuk menyaring informasi
yang didapat. Apakah nantinya berdampak positif atau negatif terhadap dirinya,
lingkungan, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemahaman agama yang baik
sebagai dasar untuk menyaring informasi. Kurangnya filter dan selektivitas
terhadap budaya asing yang masuk ke Indonesia, budaya tersebut dapat saja masuk
pada masyarakat yang labil terhadap perubahan terutama remaja dan terjadilah
penurunan etika dan moral pada masyarakat Indonesia.
Jika dilihat pada
kenyataannya, efek dari modernisasi dan globalisasi lebih banyak mengarah ke
negatif. Kita dapat kehilangan budaya negara kita sendiri dan terbawa oleh
budaya barat, jika masyarakat Indonesia sendiri tidak mempelajari pengetahuan
tentang kebudayaan Indonesia dan tidak menjaga kebudayaan tersebut. Ada baiknya
budaya barat yang kita serap disaring terlebih dahulu. Karena tidak semua
budaya barat adalah baik. Jika kita terus menerima dan menyerap budaya asing
yang tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia, dapat terjadi penyimpangan
etika dan moral bangsa Indonesia sendiri. Melalui penyimpangan etika dan moral
tersebut, dapat tercipta pola kehidupan dan pergaulan yang menyimpang. Tidak
hanya akibat negatif yang dihasilkan modernisasi dan globalisasi. Proses ini
juga menghasilkan akibat positif, yaitu terciptanya masyarakat yang lebih
intelek dan melek terhadap perubahan dan perkembangan
dunia.
Kondisi Pelajar Saat Ini Dan Permasalahan Yang Ditimbulkan
Berikut ini adalah beberapa fakta mengenai penurunan etika dan
moral pelajar yang di dapat dari berbagai masyarakat :
1. 15-20 persen dari remaja usia sekolah di Indonesia
sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah
2. 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan
setiap tahunnya
3. hingga Juni 2009 telah tercatat 6332 kasus AIDS
dan 4527 kasus HIV positif di Indonesia, dengan 78,8 persen dari kasus-kasus
baru yang terlaporkan berasal dari usia 15-29 tahun
4. Diperkirakan terdapat sekitar 270.000 pekerja
seks perempuan yang ada di Indonesia, di mana lebih dari 60 persen adalah
berusia 24 tahun atau kurang, dan 30 persen berusia 15 tahun atau kurang
5. setiap tahun ada sekitar 2,3 juta kasus aborsi di
Indonesia di mana 20 persen diantaranya adalah aborsi yang dilakukan oleh
remaja
6. Berdasarkan data kepolisian, setiap tahun
penggunaan narkoba selalu naik. Korban paling banyak berasal dari kelompok
remaja, sekitar 14 ribu orang atau 19% dari keseluruhan pengguna.
7. jumlah kasus kriminal yang dilakukan anak-anak
dan remaja tercatat 1.150 sementara pada 2008 hanya 713 kasus. Ini berarti ada
peningkatan 437 kasus. Jenis kasus kejahatan itu antara lain pencurian,
narkoba, pembunuhan dan pemerkosaan.
8. Sejak Januari hingga Oktober 2009, Kriminalitas
yang dilakukan oleh remaja meningkat 35% dibandingkan tahun sebelumnya,
Pelakunya rata-rata berusia 13 hingga 17 tahun.
Menurunnya etika dan moral di atas disebabkan oleh beberapa
faktor :
1. Longgarnya pegangan terhadap agama.
Sudah menjadi
tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu
pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan
kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan-suruhan Tuhan tidak
diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka
hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian
satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah
masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun biasanya pengawasan masyarakat
itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karen pengawasan
masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada
orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan
berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila
dalam masyarakat itu banyak ornag yang melakukuan pelanggaran moral, dengan
sendirinya orang yang kurang iman tadi tidak akan mudah pula meniru
melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh
keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak
perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat
menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan
ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari
agama, semakin sudah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin
kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan
nilai moral.
2. Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga,
sekolah maupun masyarakat.
Pembinaan moral yang
dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut semsetinya atau yang
sebiasanya. Pembinaan moral dirumah tangga misalnya harus dilakukan dari sejak
anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak
lahir, belum mengertyi man auang benar dan mana yang salah, dan belum tahu
batas-batas dan ketentuan moral yang tidak berlaku dalam lingkungannya. Tanpa
dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk manumbuhkan moral,
anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak
dirumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang
baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Zakiah Darajat mangatakan, moral
bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa
membiasakan hidup bermoral dari sejak keci. Moral itu tumbuh dari tindakan
kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya rumah tangga, sekolahpun
dapat mengambil peranan yang penting dalam pembinaan moral anak didik.
Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumuhan
dan perkembangan mental dan moral anak didik. Di samping tempat pemberian
pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan kata lain, supaya
sekolah merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mantal,
moral dan sosial serta segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. Untuk
menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan di
sekolah, maka didikan agama yang diterima dirumah tidak akan berkembang, bahkan
mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil peranan dalam
pembinaan moral. Masyarakat yanglebih rusak moralnya perelu segera diperbaiki
dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat dengan kita.
Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral
anak-anak. Terjadinya kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi muda
sebagaimana disebutakan diatas, karena tidak efektifnnya keluarga, sekolah dan
masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan
lainnya saling bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi
pembinaan moral.
3.
Budaya yang materialistis,
hedonistis dan sekularistis.
Sekarang ini
sering kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar tentang anak-anak
sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi obat-obat,
gambar-gambar cabul, alat-alat kotrasepsi seperti kondom dan benda-banda tajam.
Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat merusak
moral. Namun gajala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang
semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak
mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan
dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang
disalurkan melalui tulisan-tulisan,bacaan-bacaan, lukisan-lukisan,
siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya. Penyaluran arus budaya
yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk
keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa
memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang
demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan
moral para remaja dan generasi muda umumnya.
4.
Belum adanya
kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah.
Pemerintah yang diketahui
memiliki kekuasaan (power), uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya
tampaknya belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk
melakukan pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semaikin diperparah
lagi oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar
kedudukan, peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara tidak mendidik,
seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya tanda-tanda
untuk hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, mareri dan sebagainya dengan
cara-cara tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi
kerusakan moral bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi
apa yang disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara moral mereka sudah
kehiangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit penguasa yang demikian itu
semakin memperparah moral bangsa, dan sudah waktunya dihentikan. Kekuasaan,
uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan
untuk merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan aplikasinya secara
bersungguh-sungguh dan berkesinambungan.
5.Ingin mengikuti trend, bisa saja awalmya para remaja merokok adalah ingin
terlihat keren, padahal hal itu sama sekali tidak benar. Lalu kalau sudah
mencoba merokok dia juga akan mencoba hal-hal yang lainnya seperti narkoba dan
seks bebas.
6. Himpitan ekonomi yang membuat para remaja stress dan butuh tempat
pelarian.
7. Kurangnya pendidikan Agama dan moral.
Faktor-faktor di atas
sebagian besar dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Dengan berkembang
pesatnya teknologi pada zaman sekarang ini, arus informasi menjadi lebih
transparan. Kemampuan masyarakat yang tidak dapat menyaring informasi ini dapat
menggangguetika dan moral remaja. Pesatnya perkembangan teknologi dapat membuat
masyarakat melupakan tujuan utama manusia diciptakan, yaitu untuk beribadah.
Bab. III
HASIL ANALISIS
DAN SOLUSI PENERAPANNYA.
3.1 Peran Pendidikan Karakter dalam Meningkatkan Moral Peserta Didik.
Sesuai dengan Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Pada Pasal 3, yang
menyebutkan bahwa pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, Pendidikan Nasional bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak Mulia, berilmu, sehat, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Namun, jika kita melihat kondisi pendidikan di Indonesia sekarang ini,
ternyata masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Proses pendidikan belum
sepenuhnya berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter positif.
Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak
lulusan sekolah dan sarjana pintar dalam bangku sekolah atau perkuliahan dan
piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi lemah dalam hal
mental, penakut, dan perilakunya tidak terpuji. Di sisi lain, pendidikan yang
bertujuan mencetak manusia yang cerdas dan kreatif serta beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, belum sepenuhnya terwujud. Hal ini terlihat dari
banyaknya kasus pelajar yang terlibat tawuran, kasus kriminal, narkoba, seks di
luar nikah, dan kasus-kasus yang lain.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan, untuk memperbaiki moral generasi bangsa melalui pendidikan. Namun keinginan tersebut ternyata belum membuahkan hasil yang signifikan. Pemerintah dalam melaksanakan pendidikan, masih lebih banyak menitikberatkan pada kemampuan kognitif siswa, dengan mengesampingkan kemampuan afektif atau perilaku siswa dan psikomotorik atau keterampilan. Dalam menerapkan sistim dalam pendidikan. Misalnya sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dimana siswa dituntut belajar sesuai dengan keinginan masing-masing. Memang hal ini dapat menciptakan suasana belajar lebih mengasyikkan, namun di sisi lain kurang baik dalam pembentukan karakter yang positif, karena siswa dapat bertindak semaunya sendiri, sehingga rasa hormat terhadap guru semakin berkurang. Fenomena tersebut adalah sedikit dari fakta pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Jika kita mencermati fenomena yang ada, penyebab utama penurunan kualitas moral generasi bangsa ini adalah kurangnya materi aplikasi tentang budi pekerti dalam bangku sekolah, dan kurangnya perhatian dari guru sebagai pendidik dalam hal pembentukan karakter peserta didik, sehingga peserta didik lebih banyak terfokus pada aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif dalam pembelajaran. Hasilnya adalah peserta didik pintar dalam hal pelajaran tertentu, namun mempunyai akhlak/moral yang kurang bagus. Banyak di antara peserta didik yang pintar jika mengerjakan soal pelajaran, namun tidak hormat terhadap gurunya, suka mengganggu orang lain, tidak mempunyai sifat jujur, malas, dan sifat-sifat buruk lainnya.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan, untuk memperbaiki moral generasi bangsa melalui pendidikan. Namun keinginan tersebut ternyata belum membuahkan hasil yang signifikan. Pemerintah dalam melaksanakan pendidikan, masih lebih banyak menitikberatkan pada kemampuan kognitif siswa, dengan mengesampingkan kemampuan afektif atau perilaku siswa dan psikomotorik atau keterampilan. Dalam menerapkan sistim dalam pendidikan. Misalnya sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dimana siswa dituntut belajar sesuai dengan keinginan masing-masing. Memang hal ini dapat menciptakan suasana belajar lebih mengasyikkan, namun di sisi lain kurang baik dalam pembentukan karakter yang positif, karena siswa dapat bertindak semaunya sendiri, sehingga rasa hormat terhadap guru semakin berkurang. Fenomena tersebut adalah sedikit dari fakta pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Jika kita mencermati fenomena yang ada, penyebab utama penurunan kualitas moral generasi bangsa ini adalah kurangnya materi aplikasi tentang budi pekerti dalam bangku sekolah, dan kurangnya perhatian dari guru sebagai pendidik dalam hal pembentukan karakter peserta didik, sehingga peserta didik lebih banyak terfokus pada aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif dalam pembelajaran. Hasilnya adalah peserta didik pintar dalam hal pelajaran tertentu, namun mempunyai akhlak/moral yang kurang bagus. Banyak di antara peserta didik yang pintar jika mengerjakan soal pelajaran, namun tidak hormat terhadap gurunya, suka mengganggu orang lain, tidak mempunyai sifat jujur, malas, dan sifat-sifat buruk lainnya.
Tingginya
angka kenakalan dan kurangnya sikap sopan santun peserta didik, dipandang
sebagai akibat dari kurang efektifnya sistem pendidikan saat ini. Ditambah lagi
dengan masih minimnya perhatian guru terhadap pendidikan dan perkembangan
karakter peserta didik. Sehinga sebagian peserta didik tidak mempunyai karakter
positif. Pendidikan tanpa karakter hanya akan membuat individu tumbuh secara
parsial, menjadi sosok yang cerdas dan pandai, namun kurang memiliki
pertumbuhan secara lebih penuh sebagai manusia. Hal tersebut sudah dicontohkan
dalam sistem pendidikan kita pasca reformasi. Kurikulum yang dibangun untuk
mencerdaskan kehidupan justru berujung kepada penurunan moral dari sebagian
perserta didiknya.
Salah satu solusi agar pendidikan moral menjadi efektif adalah dengan menerapkan pendidikan karakter di setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi konsumen pengetahuan, kesadaran dan kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun ke bangsa sehingga menjadi insan kamil. Dengan penerapan pendidikan karakter, maka karakter dari peserta didik akan terbentuk sejak mereka berada di bangku sekolah dasar, kemudian dilanjutkan pada sekolah menengah dan perguruan tinggi. Dengan terbentuknya karakter tersebut, maka akan menjadi perisai atau kontrol dalam diri seseorang, sehingga akan mengendalikan perilaku orang tersebut. Intinya adalah, jika karakter sudah terbentuk, maka akan sulit untuk mengubah karakter tersebut.Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua (Suyanto, 2010). Dengan demikian, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai sedini mungkin, baik di bangku sekolah, maupun keluarga yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Penerapan pendidikan karakter juga akan membantu menyongsong Indonesia emas 2025. Selain itu, tujuan pendidikan yang tercantum pada Undang-Undang No.20 tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional akan tercapai dimana penekanan dari pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Oleh karena itu, jika kita menginginkan Indonesia bangkit melalui peningkatan sumber daya manusia yang cerdas, kreatif dan bermoral, maka dari sekarang harus menerapkan pendidikan karakter dalam sistem pendidikan.
3.2 Pengintegrasian Pendidikan Karakter ke dalam Kurikulum Pendidikan.
Di Indonesia ada sebuah lembaga yang bernama Indonesia Heritage Foundation (IHF) yang telah mengembangkan sebuah model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, yang memfokuskan pada pembentukan seluruh aspek dimensi manusia, sehingga dapat menjadi manusia yang berkarakter. Kurikulum Holistik Berbasis Karakter ini disusun berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan diterapkan dengan menggunakan pendekatan Student Active Learning, Integrated Learning, Developmentally Appropriate Practices, Contextual Learning, Collaborative Learning, dan Multiple Intelligences yang semuanya dapat menciptakan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan, serta dapat mengembangkan seluruh aspek dimensi manusia.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengemb angkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Pengintegrasian Pendidikan karakter ke dalam kurikulum pendidikan, tidak hanya cukup dengan diajarkan melalui mata pelajaran di dalam kelas. Lebih dari itu, sekolah dapat menyusun indikator pencapaian yang akan diwujudkan dengan menerapkan pendidikan karakter melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan. Pelaksanaannya dapat dilakukan baik secara spontan, terprogram, maupun dengan keteladanan. Kegiatan pembiasaan secara spontan dilakukan dengan saling menyapa, baik antarteman, antarguru, maupun antara guru dan murid. Kegiatan terprogram seperti upacara setiap hari Senin yang dilanjutkan dengan pemeriksaan kebersihan dan pemeriksaan kuku.
Salah satu solusi agar pendidikan moral menjadi efektif adalah dengan menerapkan pendidikan karakter di setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi konsumen pengetahuan, kesadaran dan kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun ke bangsa sehingga menjadi insan kamil. Dengan penerapan pendidikan karakter, maka karakter dari peserta didik akan terbentuk sejak mereka berada di bangku sekolah dasar, kemudian dilanjutkan pada sekolah menengah dan perguruan tinggi. Dengan terbentuknya karakter tersebut, maka akan menjadi perisai atau kontrol dalam diri seseorang, sehingga akan mengendalikan perilaku orang tersebut. Intinya adalah, jika karakter sudah terbentuk, maka akan sulit untuk mengubah karakter tersebut.Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua (Suyanto, 2010). Dengan demikian, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai sedini mungkin, baik di bangku sekolah, maupun keluarga yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Penerapan pendidikan karakter juga akan membantu menyongsong Indonesia emas 2025. Selain itu, tujuan pendidikan yang tercantum pada Undang-Undang No.20 tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional akan tercapai dimana penekanan dari pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Oleh karena itu, jika kita menginginkan Indonesia bangkit melalui peningkatan sumber daya manusia yang cerdas, kreatif dan bermoral, maka dari sekarang harus menerapkan pendidikan karakter dalam sistem pendidikan.
3.2 Pengintegrasian Pendidikan Karakter ke dalam Kurikulum Pendidikan.
Di Indonesia ada sebuah lembaga yang bernama Indonesia Heritage Foundation (IHF) yang telah mengembangkan sebuah model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter, yang memfokuskan pada pembentukan seluruh aspek dimensi manusia, sehingga dapat menjadi manusia yang berkarakter. Kurikulum Holistik Berbasis Karakter ini disusun berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan diterapkan dengan menggunakan pendekatan Student Active Learning, Integrated Learning, Developmentally Appropriate Practices, Contextual Learning, Collaborative Learning, dan Multiple Intelligences yang semuanya dapat menciptakan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan, serta dapat mengembangkan seluruh aspek dimensi manusia.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengemb angkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Pengintegrasian Pendidikan karakter ke dalam kurikulum pendidikan, tidak hanya cukup dengan diajarkan melalui mata pelajaran di dalam kelas. Lebih dari itu, sekolah dapat menyusun indikator pencapaian yang akan diwujudkan dengan menerapkan pendidikan karakter melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan. Pelaksanaannya dapat dilakukan baik secara spontan, terprogram, maupun dengan keteladanan. Kegiatan pembiasaan secara spontan dilakukan dengan saling menyapa, baik antarteman, antarguru, maupun antara guru dan murid. Kegiatan terprogram seperti upacara setiap hari Senin yang dilanjutkan dengan pemeriksaan kebersihan dan pemeriksaan kuku.
Terdapat 3 tahapan dalam membentuk karakter peserta didik, yaitu:
1. Moral Knowing : Memahamkan dengan baik pada anak tentang arti kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik. Dan apa manfaat berperilaku baik.
2. Moral Feeling : Membangun kecintaan berperilaku baik pada anak yang akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik. Membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya.
3. Moral Action : Bagaimana membuat pengetahuan moral menjadi tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi moral behavior.
Secara mikro pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya sekolah (school culture); kegiatan ko-kurikuler dan/atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah, dan dalam masyarakat.
a. Kegiatan belajar-mengajar di kelas pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach). Khusus, untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, nilai/karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effects). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring berkembangnya nilai/karakter dalam diri peserta didik.
b. Kegiatan di lingkungan sekolah dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural sekolah memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga sekolah lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.
c. Kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran, atau kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan sekolah yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam dll, perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dalam rangka pengembangan nilai/karakter.
d. Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap prilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di sekolah menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.
Secara rinci, upaya untuk menerapkan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Secara implisit, yakni dengan menyisipkan nilai – nilai moral di setiap proses belajar mengajar.
Misal:
Dalam mata pelajaran Fisika. Pada pembahasan materi Hukum Newton I yakni
tentang kekonsistenan gerak pada benda, terdapat nilai moral yang dapat
disisipkan. Contoh: Dalam pelajaran Kimia, misal pada materi ikatan kimia
dimana atom saling serah terima elektron. Nilai moral yang dapat disampaikan
adalah atom yang kelebihan elektron akan berbagi kepada atom yang kekurangan
elektron, begitu juga dengan atom yang kekurangan elektron akan menerima
sumbangan elektron sesuai dengan yang dibutuhkan saja.
2. Dibentuknya kelas motivasi (motivation class), yang dalam hal ini lebih menekankan pada penggugahan motivasi internal peserta didik. Mengingat bahwa motivasi internal dari seseorang itu akan berimbas sangat dahsyat pada sistem keyakinan, sedangkan sistem keyakinan akan turut menentukan budaya kerja dari orang tersebut. Yang pada akhirnya akan bermuara pada pembentukan karakter .
3. Menambah mata pelajaran tentang pendidikan moral, dan peserta didik dipersyaratkan lulus mata pelajaran tersebut.
4. Mata pelajaran yang substansinya sudah mengandung nilai-nilai moral hedaknya lebih aplikatif, tidak hanya text book semata. Sebagai contoh, pada mata pelajaran biologi, misalnya, siswa bisa diajak langsung menanam tumbuh-tumbuhan, diberi pemahaman tentang manfaatnya, dikaitkan dengan kerusakan lingkungan dan sebagainya. Seperti halnya yang diterapkan di Jepang, misalnya kegiatan mempelajari pohon dalam pelajaran IPA di sebuah SD, siswa tidak saja diarahkan untuk memahami pohon secara ilmiah, tetapi mereka diajak pula untuk menempatkan pohon sebagai bagian dari kehidupan sehari hari. Dengan konsep ini, siswa akan peduli dengan kondisi pohon di sekitarnya. Sebagai dampaknya, tidak ada penebangan liar di Jepang. Ketika mengajarkan dinamika air, guru tidak saja mengajarkan konsep bahwa air mengalir dari tempat yang tinggi ke rendah, atau air mempunyai kekuatan yang bisa menghasilkan energi, tetapi empati siswa untuk menjaga kebersihan sumber-sumber air dan ekosistemnya adalah bentuk pembelajaran yang melengk api inti pembelajaran sains. Dengan demikian, faktor pendidik jelas menjadi sangat penting serta menentukan. Demi mewujudkan pendidikan karakter, maka dibutuhkan pula pendidik-pendidik yang berkarakter
5. Menyeimbangkan porsi antara materi belajar akal (cerdas) dan hati (moral). Tidak hanya terfokus pada materi pelajaran yang menunjang kemampuan kognitif saja, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Sehingga akan manghasilkan peserta didik yang tidak hanya unggul secara intelektual tetapi juga unggul secara moral.
Menurut Supriyanto (2010), indikator pencapaian dalam pendidikan karakter dapat diterapkan melalui metode 9 pilar, Setiap tema Pilar Karakter diatur untuk dapat diterapkan selama 2 sampai 3 minggu. Masing -masing tema Pilar terdiri dari berbagai macam contoh kegiatan praktis bagi para pendidik yang terfokus pada metode: knowing the good, feeling and loving the good and acting the good. 9 pilar tersebut adalah:
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya (love Allah, trust, reverence, loyalty)
2. Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness)
3. Kejujuran/Amanah dan Arif (trustworthines, honesty, and tactful)
4. Hormat dan Santun (respect, courtesy, obedience )
5. Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)
6. Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination, enthusiasm)
7. Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
8. Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
9. Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity
2. Dibentuknya kelas motivasi (motivation class), yang dalam hal ini lebih menekankan pada penggugahan motivasi internal peserta didik. Mengingat bahwa motivasi internal dari seseorang itu akan berimbas sangat dahsyat pada sistem keyakinan, sedangkan sistem keyakinan akan turut menentukan budaya kerja dari orang tersebut. Yang pada akhirnya akan bermuara pada pembentukan karakter .
3. Menambah mata pelajaran tentang pendidikan moral, dan peserta didik dipersyaratkan lulus mata pelajaran tersebut.
4. Mata pelajaran yang substansinya sudah mengandung nilai-nilai moral hedaknya lebih aplikatif, tidak hanya text book semata. Sebagai contoh, pada mata pelajaran biologi, misalnya, siswa bisa diajak langsung menanam tumbuh-tumbuhan, diberi pemahaman tentang manfaatnya, dikaitkan dengan kerusakan lingkungan dan sebagainya. Seperti halnya yang diterapkan di Jepang, misalnya kegiatan mempelajari pohon dalam pelajaran IPA di sebuah SD, siswa tidak saja diarahkan untuk memahami pohon secara ilmiah, tetapi mereka diajak pula untuk menempatkan pohon sebagai bagian dari kehidupan sehari hari. Dengan konsep ini, siswa akan peduli dengan kondisi pohon di sekitarnya. Sebagai dampaknya, tidak ada penebangan liar di Jepang. Ketika mengajarkan dinamika air, guru tidak saja mengajarkan konsep bahwa air mengalir dari tempat yang tinggi ke rendah, atau air mempunyai kekuatan yang bisa menghasilkan energi, tetapi empati siswa untuk menjaga kebersihan sumber-sumber air dan ekosistemnya adalah bentuk pembelajaran yang melengk api inti pembelajaran sains. Dengan demikian, faktor pendidik jelas menjadi sangat penting serta menentukan. Demi mewujudkan pendidikan karakter, maka dibutuhkan pula pendidik-pendidik yang berkarakter
5. Menyeimbangkan porsi antara materi belajar akal (cerdas) dan hati (moral). Tidak hanya terfokus pada materi pelajaran yang menunjang kemampuan kognitif saja, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Sehingga akan manghasilkan peserta didik yang tidak hanya unggul secara intelektual tetapi juga unggul secara moral.
Menurut Supriyanto (2010), indikator pencapaian dalam pendidikan karakter dapat diterapkan melalui metode 9 pilar, Setiap tema Pilar Karakter diatur untuk dapat diterapkan selama 2 sampai 3 minggu. Masing -masing tema Pilar terdiri dari berbagai macam contoh kegiatan praktis bagi para pendidik yang terfokus pada metode: knowing the good, feeling and loving the good and acting the good. 9 pilar tersebut adalah:
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya (love Allah, trust, reverence, loyalty)
2. Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness)
3. Kejujuran/Amanah dan Arif (trustworthines, honesty, and tactful)
4. Hormat dan Santun (respect, courtesy, obedience )
5. Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)
6. Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination, enthusiasm)
7. Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
8. Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
9. Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity
3.3Kualitas Menerapkan Pendidikan Karakter.
Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai manfaat pendidikan diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Di dunia ini, ada beberapa Negara yang telah menerapkan pendidikan karakter di dalam sistem pendidikannya. Diantaranya Jepang, Cina, Korea dan Amerika Serikat. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Jika kita melihat keberhasilan Bangsa Jepang, semua berawal dari keuletan dan kedisiplinan rakyatnya. Sifat tersebut sudah tertanam kuat dalam diri rakyat Jepang karena sudah dibentuk sejak dini melalui penerapan pendidikan karakter. Bagaimana sekolah sekolah di Jepang mengajarkan kedisiplinan dapat kita cermati melalui pendidikan moralnya. Norma dalam masyarakat Jepang sangat terkait dengan ajaran Shinto dan Budha, tetapi menariknya kedua agama ini tidak diajarkan di sekolah dalam bentuk pelajaran wajib, seperti halnya pelajaran agama di Indonesia. Namun nilai nilai agama itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Sampai pada hal kecilpun, kedisiplinan dari masyarakat Jepang tetap tertanam. Misalnya ketika warga Jepang mengantre masuk ke kereta. Tidak ada yang berebut, bahkan anak kecil pun berdiri sabar menunggu giliran.
Di Amerika Serikat, Pemerintah sangat mendukung program pendidikan karakter yang diterapkan sejak pendidikan dasar. Hal ini terlihat pada kebijakan pendidikan tiap-tiap negara bagian yang memberikan porsi cukup besar dalam perancangan dan pelaksanaan pendidikan karakter. Hal ini bisa terlihat pada banyaknya sumber pendidikan karakter di Amerika yang bisa diperoleh. Kebanyakan, program-program dalam kurikulum pendidikan karakter tersebut menekankan pada experiental study sebagai sarana pengembangan karakter siswa. Di Cina, akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, menyebabkan negara yang relatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya, bisa begitu cepat mengejar ketertinggalannya dan menjadi Negara yang maju.
Penurunan tingkat kualitas rakyat Indonesia, bukan semata-mata karena kecerdasan otaknya yang berbeda dengan rakyat di Negara-negara maju. Pada pembahsan sebelumnya dijelaskan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan hanya terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Inilah yang belum dimiliki oleh sebagian rakyat Indonesia terutama generasi mudanya. Sehingga kualitasnya pun berada di bawah kualitas rakyat di negara-negara maju.
BAB.IV
KESIMPULAN
KESIMPULAN
A. Simpulan
Dari analisis dan sintesis di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendidikan karakter adalah salah satu cara efektif untuk mengurangi tingkat penurunan moral generasi bangsa di negeri ini.
2. Pengintegrasian pendidikan karakter dalam sistem pendidikan dapat dilaksanakan dengan cara:
a)
Menyisipkan
nilai – nilai moral di setiap proses belajar mengajar.
b)
Membentuk
kelas motivasi.
c)
Menambah
mata pelajaran tentang pendidikan moral.
d)
Mata
pelajaran yang substansinya sudah mengandung nilai-nilai moral hedaknya lebih
aplikatif, tidak hanya text book semata.
e)
Menyeimbangkan
porsi antara materi belajar akal (cerdas) dan hati (moral).
3. Porsi pendidikan karakter dalam sistem
pendidikan harus seimbang dengan materi perkembangan akal.
4. Negara yang telah menerapkan pendidikan karakter dalam sistem pendidikannya mempunyai kualitas yang lebih baik dibanding negara yang tidak menerapkan pendidikan karakter.
4. Negara yang telah menerapkan pendidikan karakter dalam sistem pendidikannya mempunyai kualitas yang lebih baik dibanding negara yang tidak menerapkan pendidikan karakter.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Kepada seluruh guru maupun dosen di Indonesia, diharapkan dapat menerapkan pendidikan karakter dalam setiap proses penyampaian materi pelajaran.
2. Kepada pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan Nasional, agar secepatnya mengupayakan pengintegrasian pendidikan karakter dalam sistem pendidikan di semua jenjang pendidikan dan menyusun kurikulum yang menyeimbangkan antara materi belajar akal (cerdas) dan hati (moral).
3. Bagi masyarakat pemerhati dan peduli pendidikan, agar mendukung upaya penerapan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA.
v John Mccain,Mark salter,”Karakter-Karakter yang Menggugah Dunia”Gramedia
Pustaka Utama”Jakarta 2009
v Heri Gunawan, S.Pd.I., M.Ag.” Pendidikan Karakter Konsep dan
Implementasi” Alfabeta,Bandung,2011
v Hamka Abdul Aziz,”Membangun Karakter Bangsa”Pustaka Al
Mawardi.Surakarta,2011
v Supriyoko,Pendidikan Karakter Membangun Peradaban,Samudera Biru,
Jakarta2011
v Sutarjo Adisusilo,”Pembelajaran Nilai Karakter”,Rajagrafindo, Jakarta,2012
v Yoyon Bahtiar Irianto,Kebijakan Pembaharuan Pendidikan,Rajawali
Press,Jakarta,2012
v 7.Bryant, Coralie.1982 Manajemen Pembangunan. Jakarta: LP3S
v DHUHRI, SAIFUDDIN. 2009. PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI
SOLUSI MEMAJUKAN BANGSA
v Martianto, Dwi Hastuti. 2002. Pendidikan Karakter: Paradigma Baru
dalam
v Pembentukan Manusia Berkualitas. Bogor: Institut Pertanian Bogor
v SCTV. 2008.Tony Wong Divonis Bebas Murni. SCTV:Liputan6.com 27/05/2008
v Suroso. 2008. Penyalahgunaan Narkoba di Pati. Pati: Kantor Litbang
v Suyuthi, Ahmad.2005. Pengembangan Model Pendidikan Berbasis
Kompetensi di
v Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan. Surabaya: Universitas
Airlangga.
v Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003.
v Jakarta: Dokumen Negara.
v WHO. 2000. Primary Prevention of Substance Abuse A Facilitator
Guide. Genewa:
v Department of Mental Health and Substance Dependence.
v Yudoyono, Susilo Bambang. 2010. Agenda Pembangunan Pendidikan Nasional.
v Sambutan Presiden RI di Istana Negara tanggal 11 Mei 2010.
v http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi